Kamis, 09 Agustus 2012

Inilah Tujuan dan Keutamaan Puasa

Minggu, 29 Juli 2012, 04:09 WIB

  

 

Puasa merupakan salah satu ibadah yang sangat mulia dan disyariatkan dalam Islam. Dan setiap ibadah itu, tentu saja mengandung hikmah dan tujuan. Shalat misalnya, tujuannya adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. (QS al-Ankabuut ayat 45).

Demikian pula dengan puasa, tujuannya secara tegas dijelaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah [2]: 183 adalah untuk membentuk pribadi Muslim yang bertakwa kepada Allah. Yakni, mengerjakan semua perintah Allah, dan menjauhi semua yang dilarang Allah.

Berkaitan dengan hal ini, Rasul SAW menegaskan bahwa sesungguhnya puasa itu ada tiga tingkatan. Yakni, puasanya orang awam, puasa khawas, dan puasanya khawasul khawas. Puasanya orang awam (umum) adalah sekadar menahan haus dan lapar dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.
 

Sedangkan puasanya orang khawas adalah menahan makan dan minum serta semua perbuatan yang membatalkannya. Misalnya mulutnya ikut berpuasa dengan tidak berkata kotor, mencaci, mengumpat, atau mencela orang lain. Demikian juga dengan tangan dan kakinya, dipergunakan untuk perbuatan yang baik dan terpuji.
 

Sementara telinganya hanya dipergunakan untuk mendengarkan hal-hal yang baik. Puasa khawas ini adalah puasanya orang yang alim dan fakih.

Adapun puasanya khawasul khawas adalah tidak hanya sekadar menahan makan dan minum serta hal-hal yang membatalkannya, termasuk menahan seluruh anggota pancaindera, tetapi hatinya juga ikut berpuasa. Menurut para ulama, inilah jenis puasanya para Nabi dan Rasul Allah. Puasa yang demikian itulah yang akan diberikan oleh Allah secara langsung.

''Sesungguhnya seluruh amal anak Adam itu untuk diri mereka sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan membalasnya.'' (Hadis Qudsi).

Puasa yang mampu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar inilah yang mampu membentuk pribadi Muslim yang bertakwa, sebagaimana penjelasan QS Al-Baqarah [2] ayat 183 di atas.

Ahli Tafsir terkemuka, Muhammad Ali a-Sabuni mengatakan, ibadah puasa memiliki tujuan yang sangat besar. Pertama, puasa menjadi sarana pendidikan bagi manusia agar tetap bertakwa kepada Allah SWT. 
 

Kedua, puasa merupakan media pendidikan bagi jiwa untuk tetap bersabar dan tahan dari segala penderitaan dalam menempuh dan melaksanakan perintah Allah SWT.

Ketiga, puasa menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa kasih saying dan persaudaraan terhadap orang lain, sehingga tumbuh rasa empati untuk menolong sesame yang membutuhkan. Keempat menanamkan rasa takwa kepada Allah SWT.

Selain memiliki tujuan spiritual, juga mengandung manfaat dan hikmah bagi kehidupan. Misalnya, puasa itu menyehatkan baik secara fisik maupun psikis (kejiwaan). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan standar kesehatan yang meliputi empat dimensi, yaitu sehat fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
 

Ibadah puasa dapat memenuhi semua dimensi standar kesehatan yang ditetapkan oleh WHO itu. Bahkan, Dokter Alexis Carrel (1873-1944) yang pernah meraih hadiah Nobel dua kali menyatakan, Apabila pengabdian, shalat, puasa, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, itu artinya kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut.

Ahmad Syarifuddin dalam Puasa Menuju Sehat Fisik dan Psikis, mengungkapkan, rumusan kesehatan psikis yang ditetapkan WHO ini bisa dipenuhi dengan puasa yang dilakukan secara baik. Dalam beberapa hal puasa bahkan memiliki keunggulan dan nilai lebih. Secara kejiwaan, sikap takwa sebagai buah puasa, mendorong manusia mampu berkarakter ketuhanan (rabbani).

 

Sumber: Republika Online

 

 

 

Nilai Hakikat dan Keutamaan Puasa

Setiap amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya menjadi sepuluh kali lipat, sampai tujuh ratus kali lipat, sampai sebanyak yang Allah kehendaki.Allah berfirman,

Shaum, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya (seperti shalat, zakat, atau haji), mempunyai tujuan mulia. Artinya, ibadah itu disyariatkan oleh Allah Swt. bukan semata-mata dalam rangka agar pelakunya mendapatkan pahala. Jelas sekali disebutkan dalam ayat ke-183 surat Al-Baqarah di atas bahwa tujuan diwajibkannya shaum Ramadhan adalah agar pelakunya mencapai derajat takwa dan dengan ketakwaan itulah manusia menjadi mulia.

Pertanyaannya, bagaimanakah ibadah shaum Ramadhan ini dapat mengangkat derajat kita sehingga dapat menjadi muslim prestatif di hadapan Allah dan di hadapan seluruh penghuni alam semesta? Inilah nilai-nilai atau hakikat yang terkandung dalam ibadah shaum.

Pertama, shaum terkait erat dengan keimanan sejati karena ia adalah ibadah rahasia. Kita tidak akan bisa membedakan mana orang yang benar-benar shaum dengan orang yang hanya berpura-pura melaksanakan shaum. Ya, seseorang bisa saja makan dan minum di tempat yang tidak diketahui orang lain dan di depan kita ia mengaku sedang shaum. Pun seseorang yang benar-benar mengerjakan shaum bisa saja terlihat beraktivitas sebagaimana biasanya seperti manakala ia tidak mengerjakan shaum.

Jadi shaum adalah ibadah hati yang sangat rahasia antar seorang hamba dengan Tuhannya. Ketika seseorang menahan makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan shaum padahal ia bisa dan mampu makan dan minum, hal itu merupakan bukti atas kesadaran dan keyakinan akan adanya pengawasan Allah Swt. Ini berbeda dengan ibadah lain yang dikerjakan dengan melakukan sesuatu. Ibadah shaum justru dikerjakan dengan menahan diri dari melakukan sesuatu.

Kedua, shaum mendidik seorang hamba untuk berorientasi masa depan. Seorang yang shaum akan dengan sukarela meninggalkan hal-hal yang halal demi mencapai dua kebahagian di masa yang akan datang, yakni masa berbuka dan masa berjumpa dengan Allah Swt. Jadi, orang yang melakukan shaum adalah mereka yang rela berkorban serta menderita sesaat untuk menggapai kebahagiaan yang akan datang. Hal tersebut adalah salah satu indikasi kuatnya keimanan pada hari akhirat, hari kehidupan yang hakiki.

Ketiga, shaum adalah pewujudan ketundukan mutlak kepada Sang Pencipta. Seorang yang melakukan shaum baru makan dan minum pada saat datang waktu magrib dan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (shaum) manakala datang fajar. Ini saja sudah merupakan ketundukan kepada Allah. Selain itu, seseorang yang shaum dari terbit fajar sampai magrib (kira-kira 13 jam), tidak akan pernah menawar agar shaum dilakukan dari jam sepuluh pagi (misalnya), yang penting lamanya sama yaitu 13 jam. Demikian pula halnya dengan anjuran makan sahur yang tidak akan dibantah meski keadaan tubuh saat itu yang tidak ingin makan. Semua kita lakukan karena tunduk dan patuh sepenuhnya kepada titah Allah Swt.

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan shaum bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah shaum itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)

Keempat, shaum merupakan sarana pendidikan masyarakat. Terasa berat bagi seseorang saat shaum dilakukan seorang diri. Ini dapat kita rasakan saat kita melakukan shaum sunat. Hal tersebut akan berbeda manakala semua orang yang ada di lingkungan sekitar melaksanakan shaum. Setiap orang di lingkungan tersebut menjadi bersemangat melakukan shaum dan nyaris tidak ada keluhan. Ternyata, ibadah yang dilakukan secara bersama-sama (dengan seluruh atau sebagaian besar masyarakat) menghasilkan sebuah kenikmatan tersendiri. Dari suasana kebersamaan tersebut, muncul rasa persatuan, keterpaduan, serta kebersamaan dalam ketaatan kepada Allah Swt. 

Itulah hikmah-hikmah yang dapat kita petik. Tentu saja, hanya Allah yang mengetahui esensi atau hakikat shaum itu sendiri. Namun demikian, dari hikmah-hikmah tersebut di atas saja, kita sudah dapat memahami dan tentu mengimanai bagaimana ibadah shaum Ramadhan menghadirkan ketakwaan.

 

 

http://www.percikaniman.org/category/artikel-islam/nilai-hakikat-dan-keutamaan-puasa