Selasa, 26 Juni 2012

SADARLAH BAHWA ALLAH-LAH YANG MENGATUR SEGALA SESUATU DALAM SETIAP DETAIL NYA

Harun Yahya|Harun Yahya (Adnan Oktar)

Kebanyakan orang senang ketika hal-hal terjadi sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah kesal ketika hal-hal kecil tidak sesuai dengan keinginan mereka.Tetapi, seseorang memercayai Allah (khususnya muslim) tidak boleh memiliki sifat seperti itu. Dalam Al-Qur'an, Allah mengungkapkan kabar baik bahwa Ia telah menentukan setiap peristiwa yang terjadi hanyalah demi kebaikan hamba-Nya yang benar, dan tidak ada yang harus menjadi kesedihan atau kesulitan bagi mereka.

 

Seseorang yang mengetahui kebenaran ini didalam hatinya, dapat menyenangi hal apapun yang ia jalani dan berkah yang terdapat di balik hal itu. Banyak orang tidak memikirkan bagaimana mereka tercipta ataupun mengapa mereka ada. Meskipun hati nurani mereka membimbing mereka agar sadar tentang keajaiban dan sempurnanya dunia yang dimiliki oleh Sang Pencipta, banyak sekali cinta yang mereka rasakan untuk kehidupan dunia ini, atau keengganan mereka untuk menghadapi kebenaran, membawa mereka untuk menyangkal realitas mengenai keberadaan-Nya. Mereka menolak bukti bahwa setiap kejadian dari hidup mereka telah ditentukan sesuai dengan rencana dan tujuan, tetapi perilaku mereka menunjukkan aksi yang salah, yakni menganggap hal-hal yang terjadi hanyalah kebetulan ataupun keberuntungan. Bagaimanapun, itu hanyalah pandangan sekilas dari manusia yang menghalangi mereka untuk melihat kebaikan/sisi positif dari suatu kejadian dan mengambil pelajaran dari kejadian tersebut.

 

Adajuga mereka, yang sadar akan keberadaan Tuhan, dan memahami bahwa Dialah yang telah menciptakan seluruh alam semesta. Mereka mengakui bukti bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan atau mengatur terbit dan terbenamnya matahari. Mereka mengakui bahwa selain karena kuasa Allah, tidak ada satupun kejadian yang dapat terjadi. Namun, ketika terjadi sedikit insiden kecil dalam hidup mereka, mereka tidak dapat berpikir mengenai kekuasaan Allah. Namun demikian, Dialah yang mentakdirkan seorang maling untuk mencuri ke rumah seseorang saat malam, menjadikan suatu halangan yang membuat seseorang jatuh, sebidang tanah yang subur untuk menghasilkan tanaman menjadi gersang, perdagangan agar menguntungkan, ataupun panci masakan yang terlupakan di kompor.

 

Setiap kejadian termasuk dalam hikmah Allah yang tak terbatas dan sesuai dengan rencana-Nya yang luhur. Setetes noda lumpur pada celana kita, sebuah tusukan pada ban, jerawat muncul di wajah seseorang, penyakit, atau hal yang tidak diinginkan, semuanya dimasukkan kedalam kehidupan seseorang dengan rencana tertentu. Tidak ada seseorang yang mengalami—mulai dari ia membuka matanya—dapat berdiri sendiri tanpa bantuan dan terpisah dari Allah. Semua kehidupan, secara keseluruhan diciptakan oleh Allah, satu-satunya yang memegang kendali atas alam semesta. Ciptaan Allah adalah sempurna, tanpa cacat, dan penuh dengan tujuan.

 

Ini adalah bagian dari takdir yang diciptakan oleh Allah, seseorang tidak boleh mendiskriminasi suatu kejadian dengan menetapkan suatu kejadian buruk dan jahat. Apa yang menjadi kewajiban pada seseorang adalah untuk mengenali dan menghargai kesempurnaan dari semua kejadian, dan untuk percaya dengan semua kepastian yang terletak didalamnya, terlebih dari itu kita juga harus sadar mengenai kebijakan Allah yang tak terbatas, semua dirancang untuk mengarah kepada tujuan yang luar biasa. Memang, bagi mereka yang percaya dan mengenali kebaikan dalam segala hal yang menimpa mereka, baik di dunia ini dan dunia luar merupakan bagian dari suatu kebaikan yang kekal.

 

Dalam Al-Qur’an, Allah menarik perhatian kita kepada fakta tersebut, hampir di setiap halaman. Inilah sebabnya mengapa kegagalan untuk mengingat bahwa segala sesuatu menurut takdir tertentu merupakan kegagalan bagi seseorang yanb beriman. Takdir yang sudah ditentukan oleh Allah itu unik, dan dialami oleh seseorang persis seperti yang telah Allah tetapkan. Orang awam bisa merasakan keyakinan pada takdir hanya sebagai cara untuk “menghibur saat terjadi bencana.” Takdir ditahbiskan oleh Allah adalah unik, dan dialami oleh seseorang dalam persis cara Allah telah ditakdirkan. Orang biasa merasakan keyakinan pada takdir hanya sebagai cara untuk "menghibur saat terjadi bencana". Seorang mukmin, di sisi lain, mencapai pemahaman yang benar terhadap takdirnya, sepenuhnya menangkap bahwa itu adalah program yang sempurna satu-satunya yang dirancang khusus untuknya.

 

Takdir adalah agenda sempurna yang seluruhnya dikembangkan untuk seseorang untuk masuk surga. Hal ini penuh dengan berkat dan untuk tujuan ilahi. Setiap kesulitan yang ditemui seseorang di dalam dunia ini akan menjadi sumber kebahagiaan tak terbatas, suka cita, dan damai di akhirat. Ayat “Karena seseungguhnya sesudah kesulitan datang kemudahan.” (Q.S. Al-Insyirah : 5) menarik perhatian kita pada fakta ini, dalam takdir seseorang, kesabaran, dan keberanian dari seseorang yang beriman adalah ditakdirkan bersama dengan imbalannya masing-masing di akhirat. Ini mungkin terjadi selama hari itu, bahwa orang beriman akan menjadi jengkel atau khawatir tentang hal-hal tertentu yang telah terjadi. Alasan utama dari rasa jengkel tersebut adalah kegagalannya untuk mengingat bahwa kegagalan dalam hidupnya adalah bagian dari takdir yang khusus diciptakan oleh Allah. Padahal, ia akan dihibur dan tenang ketika ia diingatkan tentag tujuan penciptaan Allah. Inilah sebabnya mengapa orang beriman harus belajar untuk terus diingat bahwa semuanya sudah ditakdirkan, serta mengingatkan orang lain mengenai fakta ini.

 

Dia harus menunjukkan kesabaran dalam menghadapi kejadian tersebut bahwa Allah telah ditakdirkan untuknya, di relung tanpa batas waktu, menaruh kepercayaan kepada-Nya, dan berusaha untuk mengenali alasan-alasan di balik itu. Mereka yang berusaha memahami alasan ini akan—dengan izin Allah—sukses. Meskipun mereka mungkin tidak selalu bisa mendeteksi tujuan mereka yang sebenarnya, mereka harus tetap diyakinkan bahwa, ketika sesuatu terjadi, tentu saja untuk beberapa yang baik dan untuk tujuan.

 

 

Senin, 11 Juni 2012

Keikhlasan, Saat Dirimu Merasa Tidak Lebih Baik daripada Orang Lain

dakwatuna.com - Melakukan keikhlasan, tidaklah semudah mengatakannya. Sebagaimana pernah diakui oleh seorang ulama besar Sufyan ats-Tsauri, beliau berkata, “Tidak ada suatu perkara yang paling berat bagiku untuk aku obati daripada meluruskan niatku, karena niat itu bisa berubah-ubah terhadapku.”

Namun, bukan berarti ikhlas itu tidak dapat dilakukan, dan bukan berarti ikhlas tidak dapat diusahakan. Karena ikhlas adalah suatu ‘ilmu’. Ilmu di mana kita dapat mempelajarinya, dan terus mempelajarinya, sampai akhirnya kita benar-benar paham akan makna ikhlas. Ikhlas itu sendiri merupakan hal yang amat sakral, ia adalah perintah dan ia adalah syarat diterimanya suatu ibadah.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Memang benar, ikhlas adalah rahasia, rahasia dalam hati masing-masing insan. Dan ikhlas adalah rahasia dari rahasia yang teramat lembut, sehingga samar dari dugaan semua yang hidup. Begitu samar dan tersembunyi, sehingga sulit bagi diri seseorang atau orang lain untuk mengukur kemurniannya. Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan:

Keikhlasan adalah rahasia yang diambil dari rahasia-rahasia-Ku. Aku telah menempatkannya sebagai amanat di hati sanubari hamba-hamba-Ku yang Aku Cinta.” (HR. al-Qazwaini)

Hasan al-Banna pernah berkata tentang makna ikhlas, “Ikhlas adalah seorang saudara muslim yang bermaksud dengan kata-katanya, amalnya, dan jihadnya, seluruhnya hanya kepada Allah, untuk mencari ridha Allah dan balasan yang baik dari Allah dengan tanpa melihat kepada keuntungan, bentuk, kedudukan, gelar, kemajuan, atau kemunduran. Dengan demikian ia menjadi tentara aqidah dan fikrah dan bukan tentara keinginan atau manfaat.”

Salah satu sebab jauhnya diri kita dari ikhlas ialah sifat ‘ujub, sifat berbangga diri yang berlebihan, dan menganggap orang lain tidak lebih baik dari diri kita. Sifat ini yang sering muncul tanpa kita sadari, yang mampu merobek-robek keikhlasan dalam diri kita. Ia yang mampu menodai kemurnian ikhlas dalam hati dan ia yang mampu mengotori hati dengan lendir-lendir kenistaan.

Tentunya kita tak ingin, keikhlasan yang ada di dalam hati ini, keikhlasan yang selalu kita jaga ini, ternodai dan bahkan terkotori. Dan hal yang dapat kita lakukan untuk menjaga keikhlasan adalah dengan menghapus sifat ‘ujub itu dari dalam hati, membuangnya jauh-jauh tanpa tersisa. Dimulai dengan hal yang kecil dan sederhana, yaitu anggaplah orang lain lebih baik daripada diri kita, anggaplah ia lebih mulia di sisi Allah.

Jikalau kita melihat seseorang yang lebih muda daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Anak ini masih muda usianya, belum banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah, sedangkan aku yang sudah lebih tua darinya tentu telah banyak berbuat dosa dan bermaksiat kepada Allah. Maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah.”

Jikalau kita melihat seseorang yang lebih tua daripada kita, maka hendaklah kita berkata, “Orang tua ini sudah beribadah kepada Allah lebih dahulu daripada aku, maka tiada keraguan lagi bahwa ia lebih banyak pahalanya, lebih mulia daripada aku di sisi Allah.”

Manakala kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata, “Orang alim ini telah dikaruniakan kepadanya bermacam-macam pemberian ilmu yang tidak dikaruniakan kepadaku. Ia telah sampai ke martabat yang aku tak sampai kepadanya, dan ia mengetahui berbagai masalah yang tak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya sedangkan diriku masih bergelimang dengan dosa dan maksiat?”

Bila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata, “Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku berbuat maksiat dengan ilmuku, dengan kesadaranku, maka bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah nanti?”

Saat kita menyaksikan orang fasik atau ahli maksiat, maka hendaklah kita berkata, “Benar orang ini jasadnya bergelimang dalam kemaksiatan dan dosa, tapi siapa yang tahu kalau sebenarnya hatinya selalu benci pada kemaksiatan yang ia lakukan, dan bersamaan dengan itu ia tetap mengagungkan Tuhannya. Terbuka kemungkinan suatu saat nanti ia bertaubat dan menyesali perbuatannya, lalu ia melakukan amal shalih yang nilainya lebih tinggi di mata Allah daripada aku. Sedangkan aku sendiri sampai saat ini dan nanti, tidak pernah tahu apakah ketaatanku itu diterima oleh Allah atau tidak. Dan aku juga tidak pernah mengetahui apa yang akan terjadi pada diriku esok hari.”

Di kala kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata, “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhir hayat dan mendapatkan husnul khatimah?”

Pertanyaan seperti ini bukan mengada-ada, tapi pasti dan yakin. Karena jika kita bertanya, siapakah yang dapat memastikan kalau kita dapat menjaga keimanan ini hingga akhir hayat, lalu kita memperoleh husnul khatimah? Siapa yang bisa tahu secara pasti kalau dirinya pasti diampuni oleh Allah? Siapakah yang dapat menjamin kalau diri kita pasti selamat di akhirat? Semua itu adalah rahasia Allah, yang tiada seorang pun yang dapat mengetahuinya. Bahkan beliau, Rasulullah SAW berkata:

Katakanlah: Aku tidak mengatakan padamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-An’aam: 50)

Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.’” (QS. Al-‘Araaf: 188)

Referensi: Mahmud Ahmad Mustafa, Dahsyatnya Ikhlas.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/19139/keikhlasan-saat-dirimu-merasa-tidak-lebih-baik-daripada-orang-lain/#ixzz1wo1Cs0FG